Antara Jabariyah, Qadariyah, dan Muktazilah



Seiring berkembangnya zaman, maka pemikiran manusia-manusia pengisi zaman tersebut juga turut berkembang. Namun tidak jarang, pemikiran-pemikiran yang berkembang pada suatu zaman tidak lain adalah pemikiran-pemikiran yang pernah tumbuh subur pada zaman-zaman sebelumnya, atau paling tidak bentuk modifikasi dari pemikiran-pemikiran tersebut. Dalam islam sendiri ada begitu banyak pemikiran-pemikiran yang secara terang-terangan ataupun tersirat telah menyimpang dari apa-apa yang diajarkan oleh Alquran dan hadits-hadits Rasulullah SAW, dan tiga diantaranya adalah jabariyah, qadariyah, dan muktazilah.


Jabariyah

            Inti dari pemikiran jabariyah adalah kepasrahan secara mutlak akan otoritas Tuhan. Kita manusia sama sekali tidak memiliki kekuasaan terhadap diri kita dan apa-apa yang kita lakukan. Apapun yang kita lakukan, itu semua sudah merupakan ketetapan dan kehendak Tuhan. Setiap kata yang kita ucapkan, setiap langkah kaki yang kita ayunkan, pun ketika kita melakukan suatu perbuatan dosa, itu juga sudah merupakan kehendak Tuhan terhadap diri kita.

Qadariyah

            Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan apa yang dibicarakan sebelumnya, para penganut pemikiran qadariyah malah berpikir hal yang sebaliknya. Setelah Tuhan menciptakan alam dan segenap makhluk pengisinya, kesemua makhluk tersebut diberikan kebebasan secara mutlak terhadap diri mereka dan apa-apa yang mereka lakukan, sama sekali tidak ada intervensi dari Tuhan disana. Salah satu kekeliruan dari pemikiran ini bisa kita lihat dari kekeliruan kebanyakan kita dalam menafsirkan ayat yang mengatakan bahwa,”…sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasib mereka sendiri.” Al Imam ibnu katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa makna dari ayat ini adalah, bahwa Allah tidak mengubah nikmat-nikmat/ketetapan-ketetapan baik, yang telah Dia tetapkan terhadap hamba-hambanya, kecuali hamba-hamba itu sendirilah yang mengubahnya menjadi keburukan dikarenakan perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat yang mereka lakukan sendiri. Jika kita memahami ayat di atas dengan pemahaman yang umum sebagaimana saya dan anda selama ini pahami, maka secara tidak langsung dan halus kita telah terjerumus kedalam pemikiran qadariyah ini. Termasuk juga kedalam contoh terbaru pemikiran ini adalah apa-apa yang sekarang kita kenal dengan nama new age movement (NAM). Suatu bentuk pemikiran yang kerap disampaikan diacara seminar-seminar dan acara motivasi yang dikemas dengan bahasa-bahasa yang seolah-olah ilmiah seperti misalnya Neuro Linguistic Programming (NLP), the law of attraction, dan sebagainya, yang intinya adalah kita manusia bisa mendapatkan apapun yang kita inginkan selagi kita mengizinkan diri kita untuk mendapatkan itu semua, dan alam juga akan turut mendukung kita dalam mendapatkan apa-apa yang kita inginkan tersebut. Sekilas memang tampak tidak ada yang salah dari pemikiran semacam ini, namun jika kita telisik lebih dalam, ada unsur ketidakterlibatan Tuhan disana, kita bebas menentukan sendiri apa-apa yang berkaitan dengan diri kita sendiri sebagaimana yang diyakini oleh para penganut pemikiran qadariyah.

Muktazilah

Berbeda lagi dengan penganut pemikiran muktazilah, dimana akal sangat diagung-agungkan oleh para penganutnya. Jika sesuatu itu tidak bisa dilogikakan atau diterima oleh akal, maka sesuatu itu dianggap tidak layak untuk diterima dan diakui kebenarannya. Setiap manusia bisa secara bebas dalam menafsirkan segala sesuatu menurut akal mereka masing-masing, sehingga menurut pemikiran semacam ini tidak ada suatu kebenaran yang dianggap benar-benar mutlak, semuanya relatif. Penganut pemikiran ini sangat menggembor-gemborkan kebebasan dalam berpikir dan bertindak, karena mereka menganggap setiap orang memang berhak untuk itu berdasarkan keyakinan dan pemahaman mereka masing-masing.

Penutup

Pada hakikatnya, ketika Allah mencipatkan manusia, sesungguhnya Dia juga telah menetapkan kebaikan-kebaikan yang akan menyertai perjalanan hidupnya, namun dengan catatan, selama manusia itu mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkannya, apakah itu berupa perintah maupun larangan. Dia yang menciptakan manusia, maka sejatinya hanya Dia-lah yang mengetahui apa-apa yang baik dan apa-apa yang buruk untuk ciptaan-Nya. Perihal kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia sepanjang hidupnya, maka haruslah dibedakan mana yang murni ujian untuk menaikkan derajat kita sebagai manusia, dan mana yang menjadi peringatan karena kesalahan-kesalahan yang kita lakukan agar kita kembali lebih mendekatkan diri dan taat kepada-Nya. Lebih jelas baca DISINI

Perihal rejeki, hal ini merupakan satu diantara apa-apa yang sudah ditetapkannya kepada seorang hamba ketika hamba tersebut masih berada di dalam rahim ibunya, dan tugas kita ketika hidup adalah menjemput rejeki yang telah ditetapkannya itu. Apakah kita menjemput rejeki tersebut dengan jalan yang halal ataupun haram maka besarannya pun tidak akan berubah, akan tetap sama. Adapun usaha yang kita lakukan dalam menjemput rejeki itu seharusnya diniatkan sebagai salah satu bentuk ibadah dan kebermanfaatan kita terhadap manusia lainnya. Bukankah Dia tidak menciptakan kita melainkan hanya untuk beribadah kepada-Nya dan bukan untuk sekadar mencari nafkah di dunia?, dan bukankah sebaik-baik manusia adalah mereka-mereka yang paling besar memberi manfaat terhadap sesamanya?, dan bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan bahwa tidak akan meninggal seorang hamba sebelum disempurnakan semua rejeki yang telah ditetapkan atasnya?. Adapun perkara seseorang yang dilebihkan Allah rejeki atasnya dibandingkan sebagian yang lain, maka itu adalah karunia dan ketetapan Allah atasnya, sekaligus menjadi ujian baginya dan juga bagi kita. Apakah dengan rejeki yang ada padanya itu menjadikan dia lebih dekat kepada Tuhannya dan lebih bermanfaat terhadap sesamanya atau malah sebaliknya, menjadikan dia semakin jauh dan ingkar kepada Tuhannya. Karena kekayaan pada hakikatnya bukanlah indikator tingkat ketaqwaan seseorang, walaupun terkadang itu perlu diperjuangkan untuk kemudahan dalam beribadah dan berbuat baik kepada sesama.

Perihal usaha dalam mencapai ataupun mendapatkan sesuatu, maka janganlah ketika kita telah berhasil mendapatkannya diyakini hanya sebagai satu-satunya sebab dari usaha yang kita lakukan, dengan menegasikan bahwa adanya campur tangan Tuhan disana. Karena ada banyak faktor eksternal di luar sana yang terkadang berada diluar kendali dan kuasa kita. Dalam contoh sederhana misalnya, mogoknya sepeda motor kita dalam selang waktu beberapa detik bisa saja menjadi sebab terhindarnya kita dari kecelakaan fatal di jalanan atau malah sebaliknya. Ada banyak faktor eksternal yang terkadang berada diluar kendali kita, namun itu semua dihilangkan oleh Allah sehingga kita berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan itu. Maka alangkah naifnya ketika kita mengatakan itu semua semata-mata karena usaha yang kita lakukan.

Terakhir, kehidupan dunia ini adalah ujian yang menentukan sebaik apa kehidupan kita di akhirat kelak, suatu hal yang saya rasa sudah sangat sering kita dengar, namun terkadang dalam prakteknya kita juga sering melupakannya. Ketika Allah berbicara tentang kemuliaan di sisi-Nya, Dia menetapkan sebuah standar kemuliaan yang bisa dicapai oleh siapa saja, yaitu ketaqwaan, bukan kekayaan, kecantikan rupa, dan sebagainya, yang terkadang hanya bisa dicapai oleh segelintir manusia saja. Jika kita bertaqwa maka inshaa Allah kemudahan hidup dan tempat kembali yang baiklah yang akan kita peroleh. Namun jika kita ingkar, maka kesempitan hidup dan tempat kembali yang buruklah yang akan kita dapatkan.

“Bukankah telah datang kepada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?. Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dari setitik mani yang bercampur, lalu Kami mengujinya (dengan perintah dan larangan), dan Kami jadikan dia (dapat) mendengar lagi melihat. Sesungguhnya Kami telah memberikan petunjuk (Al Quran dan Hadits) kepadanya, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang kafir itu rantai, dan belenggu dan neraka yang menyala-nyala.  Sesungguhnya orang yang berbuat kebaikan akan meminum dari gelas yang campurannya adalah air kafur”.(QS Al Insan ayat 1-5).

Kunjungi juga: Jual kambing aqiqah di Medan

Wallahua’lam…

Komentar